APLIKASI KONSELING MULTIKULTUR



APLIKASI KONSELING MULTIKULTUR UNTUK MEMBANTU MENGEMBANGKAN KEPRIBADIAN PADA ANAK TUNANETRA

Oleh: Nova Hardianti (201431004)
Bimbingan dan Konseling Universitas Muria Kudus
Kampus Gondangmanis PO BOX. 53 BAE Kudus

ABSTRAK
Konseling merupakan proses interaksi psikologis antara konselor dengan konseli dalam rangka memberikan bantuan untuk memcahkan masalah yang sedang dihadapi. Kegiatan ini sudah berlangsung selama berabat-abat, sehingga secara perlahan berkembang menjadi salah satu cabang ilmu dan profesi Diantara beberapa factor yang sangat penting dan mempengaruhi proses konseling adalah factor social budaya. Seiring berkembangnya paham globalisasi dan meningkatnya existensi konseling, interaksi konselor dan konseli tidak hanya terjadi dalam satu kultur, terapi dapat terjadi antara orang-orang dengan latar belakang budaya yang berbeda. Untuk mengatasi perbedaan budaya antara konselor dan konseli, maka konselor perlu memahami latar belakang budaya dari konselinya. Proses interaksi/konseling antara dua orang dengan latar belakang budaya yang berbeda dinamakan konseling multicultural.Salah satu kelompok khusus yang memerlukan bantuan atau layanan konseling adalah kelompok tunanetra. Sebagai kelompok yang memiliki masalah dan kekhususan, kelompok tunanetra memerlukan penanganan yang khusus pula. Dengan demikian konselor harus memahami kekhususan-kekhususan tersebut sebagai salah satu kultur atau sub-kultur dalam memberikan layanannya.
Kata kunci : Konseling multukultural, Perbedaan Budaya, Kelompok tunanetra

ABSTRACT
Psychological counseling is the process of interaction between the counselor and counselee in order to provide assistance to suss out the problem at hand . This activity has been going on for berabat-Abat, so that slowly evolved into one of the branches of science and profession Among the several factors that are very important and affect the counseling process is the socio-cultural factors. As the development of globalization and the increasing understanding of existence counseling, the counselor and counselee interaction does not just happen in one culture, therapy can occur between people with different cultural backgrounds. To overcome the cultural differences between counselor and counselee, the counselor needs to understand the cultural background of counselees. The process of interaction / counseling between two people with different cultural backgrounds called counseling multicultural.Salah a special group that needs help or counseling services is a group of blind people. As a group that has a problem and specificity, blind groups require special handling as well. Thus the counselor must understand the peculiarities such as one culture or sub-culture in the delivery of services.
Keywords: Counseling multukultural, blind Group

PENDAHULUAN
Orang yang tunanetra sering sekali digambarkan sebagai tak berdaya, tidak mandiri dan menyedihkan, sehingga terbentuk persepsi purbasangka (prejudice) di kalangan masyarakat awas bahwa orang tunanetra itu patut dikasihani, selalu butuh perlindungan dan bantuan. Dodds (1993) mengemukakan bahwa persepsi negatif tentang ketunanetraan tersebut sering sengaja dipertahankan dan diperkuat oleh badan-badan amal demi menggugah hati banyak orang untuk berderma. Hal yang serupa sangat sering kita jumpai di dalam masyarakat kita, di mana pencari derma berkeliling dari rumah ke rumah dengan mengatas namakan tunanetra. Citra tunanetra yang digambarkan oleh para pencari derma tersebut bahkan diperkuat oleh pemandangan yang sering dijumpai di banyak pusat keramaian di mana orang tunanetra yang tidak berkesempatan memperoleh pendidikan, rehabilitasi atau latihan yang sesuai dengan kebutuhannya terpaksa harus menggantungkan dirinya pada belas kasihan orang lain. Sangat jarang orang awas bertemu dengan model peran tunanetra yang positif dalam wujud orang tunanetra yang kompeten dan mandiri.
Dodds juga mengamati bahwa banyak media menggambarkan kebutaan sebagai hukuman yang patut diterima oleh penyandangnya atas kejahatan yang dilakukannya. Gambaran seperti ini mengundang pemirsanya untuk memposisikan diri pada pandangan moral tertentu terhadap sang korban, satu pandangan di mana rasa kasihan merupakan satu-satunya respon yang tepat bagi mereka yang mempunyai rasa belas kasihan, dan perasaan kebenaran dan keadilan bagi mereka yang tidak mampu menunjukkan rasa belas kasihan. Sama merusaknya dengan gambaran negatif mengenai ketunanetraan adalah gambaran positif yang tidak realistis di mana orang tunanetra dilukiskan sebagai "super‑hero", yang dipandang sebagai orang yang memiliki daya yang mengagumkan, baik fisik maupun mental (ingat misalnya "Si Buta dari Gua Hantu").
    Akhir-akhir ini sering juga muncul pemberitaan tentang orang tunanetra dengan prestasi tinggi, misalnya mereka yang dapat mengoperasikan komputer dengan baik, atau berhasil meraih gelar akademik yang prestisius, atau berhasil dalam karir profesionalnya.



PEMBAHASAN
HAKEKAT KONSELING MULTIKULTURAL
Definisi luas dari “multikulturalisme” istilah mencakup berbagai macam variable social atau perbedaan. Sebagian besar karir konseling dan bimbingan praktis siap mengakui bahwa setiap klien adalah unik, dan bahwa individu harus di terima dan di hormati.
Ada hal penting bagi kita untuk tidak menyederhanakn konsep multicultural. Pada tingkatan tertentu, culture dapat dipahami sebagai “cara hidup sesorang atau sekelompok orang “. Dalam setiap usaha memahami kata “kultur” merupakan keharusan untuk menggunakan kontribusi yang dibuat oleh disiplin keilmuan social yang khusus mendeskripsikan serta memberikan pemahaman terhadap berbagai kultur yang berbeda, yaitu antropologi social. Tradisi riset antropolgi sosial selalu mengambil pandangan yang meyatakan bahwa bersikap adil terhadap kompleksitas sebuah kultur hanya dimungkinkan dengan hidup didalamnya selama waktu tertentu, dan melaksanakan serangakaian observasi  sistematik dan seksama terhadap cara anggota kultur tersebut membangun dunia yang mereka kenal melalui cara seperti hubungan darah, ritual, mitologi, dan bahasa. Dalam bahasa Clifford Geertz, antropolog paling tertanam saat ini, kultur dapat dipahami sebagai:
Pola makna yang tertanam dalam simbol dan transmisikan secara histories, sebuah system konsepsi turunan yang diekspresikan dalam bentuk simbolik yang digunakan (orang-orang) untuk berkomunikasi, bertahan hidup, dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang hidup dan sikap terhadapnya. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa konseling multicultural merupakan proses interaksi antara konselor dan konseli dengan latar belakang budaya yang berbeda sehingga diperlukan pemahaman terhadap konsep dan budaya lain terutama bagi konselor agar dapat memberikan bantuan secara efektif sesuai perspektif budaya konseling.
    
KARAKTERISTIK KONSELOR MULTIKULTURAL
Untuk dapat melaksanakan proses konseling multikultural secara efektif, konselor multikultural dituntut memiliki beberapa kemampuan atau kopetensi.( Sue , 1978), menyebutkan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki oleh konselor multicultural sebagai berikut :
1.      Mengenali nilai dan asumsi tentang perilaku yang diinginkan dan tidak diingikan.
2.      Memahami karakteristik umum tentang konseling.
3.      Tanpa menghilangkan peranan utamanya sebagai konselor ia harus dapat berbagi pandangan dengan konselinya.
4.      Dapat melaksanakan proses konseling secara efektif.
Selain ke empat aspek tersebut, dalam artikelnya 1981, Sue menambahkan beberapa kompetensi yang harus dimiliki konselor multicultural sebagai berikut :
1.      Menyadari dan memiliki kepekaan terhadap budayanya.
2.      Menyadari perbedaan budaya antara dirinya dengan konseli serta mengurangi efek negative dari perbedaan atau kesenjangan tersebut dalam proses konseling.
3.      Merasa nyaman dengan perbedaan antara konselor dengan konseli baik menyangkut ras maupun kepercayaan.
4.      Memiliki informasi yang cukup tentang cirri-ciri khusus dari kelompok atau budaya konseli yang akan ditangani.
5.      Memiliki pemahamn dan keterampilan tentang konseling dan psikoterapi.
6.      Mampu memberikan respon yang tepat baik secara verbal maupun non verbal.
7.       Harus dapat menerima dan menyampaikan pesan secara teliti dan tepat baik verbal maupun non verbal.
Sebelas kompetensi yang menjadi karakteristik konselor multicultural seperti dikemukakaan Sue tersebut dapat disarikan dalam 3 aspek besar yaitu : Pengetahuan, sikap dan keterampilan. Dengan demikian seorang konselor multicultural harus memiliki pengetahuan tentang teknik konseling dan social budaya , sikap terbuka dan toleran terhadap perbedaan, serta keterampilan dalam memodifikasi teknik-teknik konseling secara efektif dalam latar budaya yang berbeda-beda. Menyangkut konselor Indonesia perlu pula memahami ciri-ciri khusus budaya dan sub budaya dari bangsa Indonesia yang beraneka ragam serta mampu menjadikan keanekaragaman tersebut sebagai unsure persatu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Selain memiliki keanegaragaman budaya dan kepercayaan dalam masyarakat Indonesia terdapat beberapa kelompok khusus lainnya. Salah satu kelompok yang dimaksud adalah kelompok penyandang cacat. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari bangsa Indonesia, kelompok ini memerlukan ruang dan pemberian kesempatan untuk dapat hidup wajar bersama masyarakat lainnya. Namun demikian , keunikan perilaku yang mereka tunjukkan, kendala yang mereka hadapi, dan diskriminasi yang mereka peroleh, menyebabkan kelompok penyandang cacat dinilai sebagai kelompok marjinal dan beban masyarakat.
Untuk menangulangi masalah tersebut, konseling dan psikoterapi multicultural dapat menjadi salah satu solusi. Oleh karena itu konselor multicultural perlu memiliki empati dan kompetensi dalam memberikan bantuan kelompok penyandang cacat sehingga dapat mendorong mereka berkiprah secara wajar ditengah masyarakatnya.

GANGGUAN PENGLIHATAN (KETUNANETRAAN)
Dalam bidang pendidikan luar biasa, anak dengan gangguan penglihatan lebih akrab disebut anak tunanetra.  Pengertian tunanetra tidak saja mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar. Jadi, anak-anak dengan kondisi penglihatan yang termasuk “setengah melihat”, “low vision”, atau rabun adalah bagian dari kelompok anak tunanetra.
Menurut Somantri (2007: 65) anak tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari sepertia halnya orang awas. Anak-anak dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui dalam kondisi berikut:
1.      Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas.
2.      Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu.
3.      Posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak.
4.      Terjadi kesalahan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan.
Dari kondisi-kondisi di atas, pada umunya yang digunakan sebagi patokan apakah seorang anak termasuk tunanetra atau tidak ialah berdasarkan pada tingkat ketajaman penglihatannya pada tingkat ketajaman penglihatannya. Untuk mengetahui ketunanetraandapat digunakan suatu tes yang dikenal tes Snellen Card. Perlu ditegaskan bahwa anak dikatakan tunanetra bila ketajaman penglihatannya (visusnya) kurang dari 6/21. Artinya, berdasarkan tes, anak hanya mampu membaca huruf pada jarak 6 meter yang oleh orang awas dapat dibaca pada jarak 21 meter.
Anak tunanetra memiliki karakteristik kognitif, sosial , emosi, motorik dan kepribadian yang sangat bervariasi. Hal ini sangat tergantung pada sejak kapan anak mengalami ketunanetraan, bagaimana tingkat ketajaman penglihatannya, berapa usianya, serta bagaimana tingkat pendidikannya.
Secara ilmiah ketunanetraan anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Hal-hal yang termasuk faktor internal yaitu faktor-faktor internal yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam kandungan.kemungkinan karena faktor gen (sifat pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat, dan sebagainya. Sedangkan hal-hal yang trermasuk faktor eksternal diantaranya faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi dilahirkan. Misalnya : kecelakaaan, terkena penyakit syphilis yang mengenai matanya saat dilahirkan, pengaruh alat bantu medis (tang) saat melahirkan sehingga system persyaratannya rusak, kurang gizi atau vitamin, terkena racun, virus trachoma, panas badan yang terlalu tinggi, seta peradangan mata karena penyakit, bakteri, ataupun virus trachoma, panas badan yang terlalu tinggi, serta peradangan mata karena penyakit, bakteri, ataupun virus.
Untuk dapat memberikan bantuan yang optimal pada kelompok tunanetra, kiranya perlu dikemukakan permasalahan umum yang dihadapi tunanetra. Secara umum tunanetra menghadapi permasalahan yang dapat digolongkan dalam dua kelompok besar yaitu, masalah exsternal dan internal. Masalah exsternal berupa perlakuan, sikap dan pemberian kesempatan dari pihak lain kepada tunanetra.
Adapun masalah internal dapat berupa keterbatasan/hambatan fisik, sikap, perilaku, serta motivasi dan kemampuan social dari tunanetra itu sendiri. Diantara sejumlah permasalah internal yang dihadapi anak tunanetra, ada tiga masalah krusial yang akan dikemukakan pada tulisan ini. Dengan demikian akan diperoleh pula cara mendorong penanggulangan masalah-masalah tersebut melalui konseling multicultural.
    
MASALAH PERKEMBANGAN EMOSI ANAK TUNANETRA
Perkembangan emosi anak tunanetra akan semakin terhambat bila anak tersebut mengalami deprivasi emosi, yaitu keadaan di mana anak tunanetra tersebut kurang memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang menyenangkan seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian, dan kesenangan. Anak tunanetra yang cenderung mengalami deprivasi emosi ini terutama adalah anak-anak yang pada masa awal kehidupan atau perkembangannya ditolak kehadirannya oleh lingkungan keluarga atau lingkungannya. Deprivasi emosi ini akan sangat berpengaruh terhadap aspek perkembangan lainnya seperti kelambatan dalam perkembangan fisik, motorik, bicara, intelektual, dan sosialnya. Disamping itu, ada kecenderungan bahwa anak tunanetra yang dalam masa awal perkembangannya mengalami deprivasi emosi akan bersifat menarik diri, mementingkan diri sendiri, serta sangat menuntut pertolongan atau perhatian dan kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya.
Masalah-masalah lain yang sering dihadapi dalam perkembangan emosi anak tunanetra ialah ditampilkannya gejala-gejala emosi yang tidak seimbang atau pola-pola emosi negatif dan berlebihan.Semua ini terutama berpangkal pada ketidakmampuannya atau keterbatasannya dalam penglihatan serta mengalaman-pengalaman yang dirasakan atau dihadapi dalam masa perkembangannya. Beberapa gejala atau pola emosi yang negative dan berlebihan tersebut adalah perasaan takut, malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri hati, serta kesedihan yang berlebihan.
Perasaan takut yang berlabihan pada anak tunanetra biasanya berhubungan dengan meningkatnya kemampuan anak untuk mengenal bahaya serta penilaian kritis terhadap lingkungannya. Ketikmampuannya dalam melihat mengakibatkan ia tidak mampu mendeteksi secara tepat kemungkinan-kemungkinan bahaya yang dapat mengancam keselamatannya. Akibatnya anak tunanetra cenderung memiliki perasaan dan bayangan adanya bahaya yang jauh lebih banyak dan jauh lebih besar dibanding dengan orang awas. Kondisi ini diperberat dengan ketidakmampuam atau keterbatasannya dalam menghadapi atau menghindari dari bahaya tersebut, apalagi jika bahaya tersebut datang secara tiba-tiba, serta pengalamannya dalam melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya yang begitu banyak dihadapkan pada berbagai resiko. Kita sendiri dapat mengbayangkan bagaimana takutnya berada dalam situasi yang penuh kegelapan, walaupun kita memiliki kemampuan dan pengalaman untuk menghindari atau menghadapi bahaya yang mungkin datang.
Sekaliapun anak tunanetra tidak mampu melihat lingkungannya, perasaan malu seringkali menghinggapi mereka. Hal ini terutama dalam memasuki dunia yang masih asing baginya. Sifat ini seringkali desebabkan karena keluarbiasaannya serta sebagai reaksi terhadap ketidaktahuan dan ketidakpastian reaksi orang lain terhadap diri dan perilakunya. Sedangkan perasaan khawatir dan cemas seringkali menghinggapi anak tunanetra sebagai akibat dari ketidakmampuan atau keterbatasan dalam memprediksikan dan mengantisipasi kemungkinan-kamungkinan yang terjadi dilingkungannya dan menimpa dirinya. Sedangkan perasaa iri hati biasanya muncul karena kurang atau hilangnya kasih sayang dari lingkungannya. Biasanya tumbuh dan berkembang dari reaksi lingkungan terhadap dirinya yang ternyata diperlukan secara berbeda karena kecacatannya.
    
MASALAH PERKEMBANGAN SOSIAL ANAK TUNANETRA
Perkembangan social berarti dikuasainya seperangkat kemampuan untuk bertingkah laku sesuai dengan tuntutan masyarakat. Bagi anak tunanetra penguasaan seperangkat kemampuan bertingkah laku tersebut tidaklah mudah. Dibandingkan dengan anak awas, anak tunanetra lebih banyak menghadapi masalah dalam perkembangan social. Hambatan-hambatan tersebut terutama muncul sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari ketunanetraannya. Kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan social yang lebih luas atau baru, perasaan-perasaan rendah diri, malu sikap-sikap masyarakat yang seringkali tidak menguntungkan seperti penolakan, penghinaan, sikap tak acuh, ketidakjelasan tuntunan social, serta terbatasnya kesempatan bagi anak untuk belajar tentang pola-pola tingkah laku yang diterima merupakan kecenderungan tunanetra yang dapat mengakibatkan perkembangan sosialnya menjadi terlambat. Kesulitan lain dalam melaksanakan tugas perkembangan social ini ialah keterbatasan anak tunanetra untuk dapat belajar social melalui proses identifikasi dan imitasi. Ia juga memiliki keterbatasan untuk mengikuti bentuk-bentuk permainan sebagai wahana penyerapan norma-norma atau aturan-aturan dalam bersosialisasi.
Pengalaman social anak tunanetra pada usia dini yang tidak menyenangkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan negative orang tua dan keluargannya akan sangat merugikan perkembangan anak tunanetra. Hal ini karena usia tersebut merupakan masa-masa kritis dimana pengalaman-pengalaman dasar social yang terbentuk pada masa itu akan sulit untuk diubah dan terbawa sampai usia dewasa.
Anak tunanetra yang mengalami pengalaman social yang menyakitkan pada usia dini cenderung akan menunjukkan perilaku-perilaku untuk menghindar atau menolak partisipasi social atau pemilihan sikap social yang negative pada tahapan perkembangan berikutnya. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penyimpagan-penyimpangan dalam perkembangan social anak tunanetra, sikap dan perlakuan orang tua dan keluarga tunanetra nampaknya harus menjadi perhatian terutama pada usia dini.
Masa sosialisasi sesungguhnya akan terjadi pada saat anak memasuki lingkungan pendidikan kedua, yaitu sekolah. Pada masa ini anank akan dihadapkan pada berbagai aturan dan desiplin serta penghargaan terhadap orang lain. Masa transisi dari orientasi lingkungan keluarga kesekolah seringkali menimbulkan masalah-masalah pada anak, termasuk anak tunanetra. Bagi anak tunanetra memasuki sekolah atau lingkungan yang baru adalah saat-saat yang kritis, apalagi ia sudah merasakan dirinya berbeda dengan orang lain yang tentunya akan mengundang berbagai reaksi tertentu yang mungkin menyenangkan atau sebaliknya. Ketidaksiapan mental anak tunannetra dalam memasuki sekolah atau lingkungan baru atau kelompok lain yang berbeda atau lebih luas seringkali mengakibatkan anak tunanetra gagal dalam mengembangkan kemampuan sosialnya. Apabila kegagalan tersebut dihadapi sebagai suatu kenyataan dan tantangan, maka biasanya akan menjadi modalitas utama dalam memasuki lingkungan yang baru berikutnya. Namun bila kegagalan dihadapi sebagai suatu ketidakmampuan, maka sikap-sikap ketidakberdayaan yang akan muncul menumpuk menjadi sebuah rasa putus asa yang mendalam dan akhirnya anak menghindari kontak social, menarik diri, dan apatis.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa bagaimana perkembangan social anak tunanetra sangat tergantung pada bagaimana perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama lingkungan keluarga terhadap anak tunanetra itu sendiri. Akibat ketunanetraan secara langsung atau tidak langsung, akan berpengaruh terhadap perkembangan social anak seperti keterbatasan anak untuk belajar social melalui identifikasi maupun imitasi, keterbatasn linkungan yang dapat dimasuki anak untuk memenuhi kebutuhan ssosialnya, serta adanya factor-faktor psikologis yang menghambat keinginan anak untuk memasuki lingkungan sosialnya secara bebas dan aman.
    
APLIKASI KONSELING MULTIKULTURAL
Untuk mengaplikasikan layanan konseling multicultural dalam membantu tunanetra, perlu dikemukakan kembali tiga permasalahan atau tiga factor internal yang dihadapi anak tunanetra.Berdasarkan permasalahan tersebut dapat dirumuskan langkah-langkah atau layanan konseling yang diperlukan. Adapun permasalahan yang dihadapi tunanetra antara lain sebagai berikut:
1.      Perkembangan emosional
Gangguan atau hambatan perkembangan emosional terjadi karena pada usia dini tunanetra tidak mampu mengespresikan atau merespon stimulus emosional yang diterima secara non verbal. Solusi yang mungkin ditempuh adalah mengajarkan dan menerjemahkan exspresi-exspresi emosional non verbal kedalam exspresi verbal. Dalam hal ini konselor multicultural perlu memahami exspresi-exspresi non verbal dalam lingkungan tempat tinggal anak tunanetra dan mampu menerjemahkannya kedalam bahasa verbal. Konselorpun harus mengetahui penyebab ketunanetraan dari konselinya, sehingga terapi yang tepat dapat diberikan kepada tunanetra baru yang mengalami trauma atau gangguan emosional akibat kebutaan yang baru dihadapinya.
2.      Perkembangan social anak tunanetra
Masalah perkembangan social terjadi karena besarnya penolakan masyarakat terhadap tunanetra atau karena kurangnya motivasi dan ketakutan tunanetra dalam menghadapi lingkungannya. Solusi kongkret yang dapat ditempuh konselor dalam menanggulagi masalah perkembangan anak tunanetra adalah memberikan motivasi dan latihan kemandirian dalam perspektif budaya tunanetra yang diintergrasikan dengan perspektif social budaya masyarakat lingkungannya. Pengalaman-pengalaman intergrasi social dapat diberikan melalui pembauran yang wajar, sehingga pada saat yang bersamaan memberikan penyadaran kepada masyarakat untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi partisipasi aktif tunanetra dalam masyarakat.
3.      Perkembangan kepribadian anak tunanetra
Merujuk pada berbagai hasil penelitian, tidak terdapat perbedaan signifikan dalam perkembangan kepribadian anak tunanetra dengan anak awas. Perbedaan signifikan terdapat pada pengenalan konsep diri. Oleh karena itu konselor harus dapat mengkomunikasikan keadaan dan kondisi konseli yang tunanetra serta membantunya memasuki dunia atau lingkungan baru melalui pengenalan komunikasi verbal, pemberian semangat dan motivasi. Bagi tunanetra yang memiliki sisa penglihatan, pengenalan konsep diri lebih sulit lagi, karena adanya konflik identitas. Dalam hal ini konselor harus dapat mendorong anak tersebut untuk memfungsikan penglihatan yang masih tersiksa semaksimal mungkin, serta mempersiapkan yang bersangkutan untuk menghadapi kondisi berkurang dan atau bahkan hilangnya penglihatan. Pelatihan dan pembekalan ini selain melibatkan pemberian motivasi juga, melibatkan layanan terapi untuk memelihara penglihatan yang tersisa. Dengan cara demikian tunanetra tersebut akan dapat memaksimalkan penglihatannya selagi masih ada, dan tidak akan mengalami depresi ketika penglihatannya menurun bahkan hilang. Melalui konseling dan pelatihan yang tepat tunanetra dapat menjadi pribadi yang tangguh dan siap berkipra secara wajar ditengah masyarakatnya.

SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
Konseling multicultural merupakan proses interaksi antara konselor dan konseli dengan latar belakang budaya yang berbeda sehingga diperlukan pemahaman terhadap konsep dan budaya lain terutama bagi konselor agar dapat memberikan bantuan secara efektif sesuai perspektif budaya konseling.
Masalah dan dampak ketunanetraan dalam perkembangan emosi, social dan kepribadian dapat ditanggulangi melalui konseling multicultural sepanjang konselor memiliki kompetensi dalam konseling serta empati dan pemahaman yang benar terhadap tunanetra.
   
SARAN
1.      Konselor harus melakukan upaya-upaya khusus secara terpadu dan multidispliner pada permasalahan anak tunanetra agar tidak merugikan perkembangannya.
2.      Konselorpun harus mengetahui penyebab ketunanetraan dari konselinya, sehingga terapi yang tepat dapat diberikan kepada tunanetra baru yang mengalami trauma.
3.      konselor harus dapat mengkomunikasikan keadaan dan kondisi konseli yang tunanetra serta membantunya memasuki dunia atau lingkungan baru melalui pengenalan komunikasi verbal, pemberian semangat dan motivasi.



DAFTAR PUSTAKA

Somantri, Sutjihati. (2007). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT Refika Aditama

Efendi, Mohammad. (2006). Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: PT Bumi Aksara

Hidayat, dkk. (2006). Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung: UPI PRESS

Somantri, Sutjihati. (2012). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT Refika Aditama

Robert e, slavin. (2008).  Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik. Jakarta: PT Indeks

https://jofipasi.wordpress.com/2013/01/23/konseling-multikultur-dan-kepribadian-anak-tunanetra/

Wardani, dkk. (2011). Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: U

Related Post

0 Komentar

NAMA KELOMPOK

NAMA KELOMPOK   NOVA HARDIANTI (201431004) HENI PRATIWI         (201431044) NOVI PUTRI PERTIWI (201431031) IDA AFITIYA SARI (2014310...